Hari Tani Nasional dirayakan setiap tanggal 24 September, terutama oleh para petani di seluruh Indonesia. Tanggal 24 September ditetapkan sebagai pengingat bahwa pada tanggal itu tahun 1960. Presiden Republik Indonesia Soekarno menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agaria Kemudian hari tersebut menjadi tonggak sejarah bangsa dalam memandang arti penting petani dan hak kepemilikan atas tanah serta masa depan agraria di Indonesia Kepedulian negara terhadap kehidupan rakyatnya, terutama kehidupan para petani mulai diwujudkan. Sejak lepas dari cengkraman Belanda pemerintah Indonesia selalu berusaha merumuskan UU Agraria baru untuk mengganti UU Agraria kolonial. Pada tahun 1948, ketika itu ibu kota Republik Indonesia (RI) berkedudukan di Yogyakarta. Penyelenggara negara membentuk panitia agraria Yogya. Namun, akibat gejolak politik, usaha itupun kandas. Setelah diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 dan persetujuan antara Republik Indonesia dengan Belanda, atas pengakuan kepemilikan politik Negara Indonesia, maka ibukota RI kembali ke Jakarta Kemudian, Panitia Agrana Yogya di Jakarta pada tahun 1951, dengan nama Panitia Agraria Jakarta Dalam perkembangannya Panitia Agraria Jakarta yang sempat mandeg oleh Panitia Soewabjo (1955), Belanda yang masih tidak rela melepaskan wilayah Irian Barat, terus mengulur penyelesaian. Hal ini kemudian membuat Indonesia memberikan tindakan tegas dengan berjanji berjanji KMB secara sepihak pada tahun 1956.
Diikuti dengan nasionalisasi perkebunan-perkebunan asing Pemerintah kemudian mengeluarkan UU No 1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah partikelir. Tanah tersebut oleh penguasa kolonial disewakan atau dijual orang-orang kaya dengan disertai hak-hak pertuanan (landheerlijke rechten). Hak pertuanan artinya sang tuan tanah berkuasa atas tanah, beserta orang orang di dalamnya. Misalnya, hak mengangkat dan memberhentikan kepala desa, menuntut rodi atau uang pengganti rodi, dan mengadakan pungutan-pungutan Hak dipertuanan itu seperti negara dalam negara. Dengan UU No 1 tahun 1958 itu, hak-hak pertuanan hanya boleh dimiliki oleh negara Kemudian upaya mengambil alih lahan asing ke tangan rakyat atau petani dilakukan dengan ganti rugi. Artinya, reformasi agraria dikoordinasikan oleh pemerintah dengan cara ganti rugi untuk meminimalisasi adanya konflik Tibalah masa penantian selama 12 tahun melalui prakarsa Menter Pertanian 1959, Soenarys Rancangan Undang-Undang itu digodok Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang dipimpin oleh Zammil Arifin Pada sidang DPR-GR 12 September 1960, Menteri Agraria saat itu. Mr Sardjarwo dalam bicara pengantarnya menyatakan, perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia melepaskan diri dari gengkraman pengaruh, dan sisa-sisaan, khususnya perjuangan rakyat tani untuk mendapatkan diri dari kekangan-ke sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing Kemudian, pada 24 September 1960, RUU tersebut disetujui DPR sebagai UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau dikenal dengan Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA) UUPA 1960 merupakan payung hukum (Lex Generalis) bagi pengelolaan kekayaan agraria nasional. Undang-undang ini lahir dari semangat perlawanan terhadap kolonialisme, yang telah merampas hak asasi rakyat Indonesia selama ber-abad-abad melalui Agrariche Wet 1870. Prinsip UUPA adalah menempatkan tanah untuk kesejahteraan rakyat. UUPA hak memiliki tanah kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak atas tanah, pengakuan hukum adat serta warga negara asing tak punya hak milik. Tanggal ditetapkannya UUPA, yakni 24 September.
Selamat Memperingati Hari Tani !^^
ㅤㅤㅤ National Farmers Day
National Farmers Day is celebrated every September 24, especially by farmers throughout Indonesia. September 24 was set as a reminder that that date was 1960. President of the Republic of Indonesia Soekarno enacted Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agaria. Later that day became a milestone in the nation's history in viewing the importance of farmers and land ownership rights and agrarian future in Indonesia The state's concern for the lives of its people, especially the lives of farmers, has begun to be realized. Since being released from the grip of the Dutch, the Indonesian government has always tried to formulate a new Agrarian Law to replace the colonial Agrarian Law. In 1948, when the capital city of the Republic of Indonesia (RI) was located in Yogyakarta. The state organizers formed the Yogya agrarian committee. However, due to political turmoil, even that effort foundered. After the Round Table Conference (KMB) was held on December 27, 1949 and the agreement between the Republic of Indonesia and the Netherlands, on the recognition of the political ownership of the State of Indonesia, the capital of the Republic of Indonesia returned to Jakarta. The development of the Jakarta Agrarian Committee, which had stalled by the Soewabjo Committee (1955), the Netherlands, which was still not willing to give up the territory of West Irian, continued to stall for a solution. This then prompted Indonesia to take firm action by promising to unilaterally pledge KMB in 1956.
This was followed by the nationalization of foreign plantations. The government then issued Law No. 1 of 1958 concerning the abolition of private land. The land was leased or sold by the colonial rulers by the rich people accompanied by lordship rights (landheerlijke rechten). Ownership rights mean that the landlord has power over the land, along with the people in it. For example, the right to appoint and dismiss village heads, demand fees or money to replace labor, and collect fees. With Law No. 1 of 1958, land tenure rights can only be owned by the state. Then efforts to take over foreign lands into the hands of the people or farmers are carried out with compensation. This means that agrarian reform is coordinated by the government by way of compensation to minimize conflicts. The 12-year waiting period came through the initiative of the 1959 Minister of Agriculture, Soenarys. DPR-GR session 12 September 1960, Minister of Agrarian Affairs at the time. Mr. Sardjarwo in his introductory speech stated that the struggle for overhauling the national agrarian law goes hand in hand with the history of the struggle of the Indonesian people to escape from the grip of influence and remnants, especially the struggle of the peasants to get themselves out of the feudal system of land and extortion of foreign capital. Then, on September 24, 1960, the bill was approved by the DPR as Law No. 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles, or known as the Agrarian Reform Law (UUPA). This law was born from the spirit of resistance to colonialism, which had robbed the Indonesian people of their human rights for centuries through Agrariche Wet 1870. The principle of the LoGA is to place land for the welfare of the people. The UUPA has equal opportunity for every citizen to obtain land rights, recognition of customary law and foreign citizens do not have property rights. The date for the stipulation of the UUPA is September 24.
Happy Farmer's Day!^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar